Kampanye Aku Cinta Indonesia: Masihkah Sebatas Retorika?
Kampanye Aku Cinta Indonesia: Masihkah Sebatas Retorika? - Walau sudah diluncurkan hampir dua tahun lalu, tepatnya tanggal 22 April 2009, oleh Presiden Susilo Bambang Yudoyono (SBY), Kampanye “Aku Cinta Indonesia” masih meninggalkan pertanyaan. Hal itu terkait dengan kebijakan pemerintah yang seringkali terkesan mendua dan tidak konsisten.
Tengok saja kebijakan pemerintah yang cenderung mengabaikan kepentingan rakyat seperti menyepakati adanya ASEAN-China-Free-Trade Agreement (ACFTA) yang mulai berlaku sejak Januari 2010, kebijakan impor pemerintah yang berlaku mulai Januari 2012, dan kebijakan impor beras.
Adanya ACFTA membuat barang-barang dari Cina ke ASEAN terutama Indonesia menjadi nol persen. Sebagian pakar ekonomi menilai beberapa kebijakan tersebut dianggap tidak memihak kepentingan rakyat dan mengancam industri nasional mengingat barang luar negeri seperti dari Cina yang terkenal harganya lebih murah.
Melihat kronologis waktu, boleh jadi Kampanye “Aku Cinta Indonesia” merupakan langkah untuk mengantisipasi arus produk luar negeri sejak pemberlakuan AFTA dan kebijakan impor pemerintah.
Kampanye “Aku Cinta Indonesia” itu sendiri merupakan usaha untuk meningkatkan daya saing produk-produk Indonesia terhadap produk asing dan kecintaan atau apresiasi terhadap produk dalam negeri. Bersamaan dengan kampanye tersebut disosialisasikan pula logo 100% Cinta Indonesia.
Logo tersebut berupa kombinasi antara tipografi dan simbol hati dengan empat warna utama yaitu: biru, merah, orange, dan putih. Warna biru dan orange merupakan representasi warna dari laut dan bumi Indonesia, sedangkan warna merah dan putih adalah simbol bendera kebangsaan Indonesia. Warna-warna tersebut merefleksikan kekayaan dan keanekaragaman sumber daya, budaya, dan kreativitas bangsa Indonesia.
Pihak pemerintah meminta pihak peritel termasuk pusat perbelanjaan untuk memasang logo 100% Cinta Indonesia. Jika Anda perhatikan, beberapa pusat perbelanjaan seperi Hypermart, Matahari, Alfamart memang sudah memasang logo 100% Cinta Indonesia pada materi pemasaran mereka.
Namun apakah itu saja sudah cukup? Branding tidak cukup hanya melakukan kampanye, menciptakan dan memasang logo, atau mendesain materi promosi, namun melibatkan banyak elemen dan pihak yang membutuhkan upaya, aktivitas, dan konsistensi yang berkesinambungan.
Kampanye “Aku Cinta Indonesia” pantas mendapat apresiasi dan dukungan penuh dari seluruh rakyat Indonesia. Namun, melihat beberapa fakta di atas, keseriusan dan konsistensi pemerintah dalam upaya meningkatkan kecintaan terhadap produk dalam negeri mulai dipertanyakan.
Bagaimana pemerintah bisa mengajak rakyatnya mencintai produk dalam negeri, jika pemerintah saja cenderung bersikap latah dan memihak kepentingan luar negeri daripada rakyatnya sendiri? (bitebrands)
Tengok saja kebijakan pemerintah yang cenderung mengabaikan kepentingan rakyat seperti menyepakati adanya ASEAN-China-Free-Trade Agreement (ACFTA) yang mulai berlaku sejak Januari 2010, kebijakan impor pemerintah yang berlaku mulai Januari 2012, dan kebijakan impor beras.
Adanya ACFTA membuat barang-barang dari Cina ke ASEAN terutama Indonesia menjadi nol persen. Sebagian pakar ekonomi menilai beberapa kebijakan tersebut dianggap tidak memihak kepentingan rakyat dan mengancam industri nasional mengingat barang luar negeri seperti dari Cina yang terkenal harganya lebih murah.
Melihat kronologis waktu, boleh jadi Kampanye “Aku Cinta Indonesia” merupakan langkah untuk mengantisipasi arus produk luar negeri sejak pemberlakuan AFTA dan kebijakan impor pemerintah.
Kampanye “Aku Cinta Indonesia” itu sendiri merupakan usaha untuk meningkatkan daya saing produk-produk Indonesia terhadap produk asing dan kecintaan atau apresiasi terhadap produk dalam negeri. Bersamaan dengan kampanye tersebut disosialisasikan pula logo 100% Cinta Indonesia.
Loading...
Logo tersebut berupa kombinasi antara tipografi dan simbol hati dengan empat warna utama yaitu: biru, merah, orange, dan putih. Warna biru dan orange merupakan representasi warna dari laut dan bumi Indonesia, sedangkan warna merah dan putih adalah simbol bendera kebangsaan Indonesia. Warna-warna tersebut merefleksikan kekayaan dan keanekaragaman sumber daya, budaya, dan kreativitas bangsa Indonesia.
Pihak pemerintah meminta pihak peritel termasuk pusat perbelanjaan untuk memasang logo 100% Cinta Indonesia. Jika Anda perhatikan, beberapa pusat perbelanjaan seperi Hypermart, Matahari, Alfamart memang sudah memasang logo 100% Cinta Indonesia pada materi pemasaran mereka.
Namun apakah itu saja sudah cukup? Branding tidak cukup hanya melakukan kampanye, menciptakan dan memasang logo, atau mendesain materi promosi, namun melibatkan banyak elemen dan pihak yang membutuhkan upaya, aktivitas, dan konsistensi yang berkesinambungan.
Kampanye “Aku Cinta Indonesia” pantas mendapat apresiasi dan dukungan penuh dari seluruh rakyat Indonesia. Namun, melihat beberapa fakta di atas, keseriusan dan konsistensi pemerintah dalam upaya meningkatkan kecintaan terhadap produk dalam negeri mulai dipertanyakan.
Bagaimana pemerintah bisa mengajak rakyatnya mencintai produk dalam negeri, jika pemerintah saja cenderung bersikap latah dan memihak kepentingan luar negeri daripada rakyatnya sendiri? (bitebrands)
Loading...
Post a Comment